Kamis, 21 Oktober 2010

Standard LCC



Standar Layanan LCC Segera Diatur

JAKARTA – Pemerintah berencana mengatur Standar Pelayanan Minimum (SPM) maskapai penerbangan berpelayanan penuh (full service) dan maskapai berbiaya murah (low cost carrier/LCC). Direktur Angkutan Udara Departemen Perhubungan Tri S. Sunoko mengatakan regulasi itu akan ditetapkan dalam peraturan Mentri Perhubungan (Permenhub). Aturan itu akan memberikan kepastian standar pelayanan minimum dan perlindungan kepada konsumen maskapai penerbangan nasional,” ujarnya akhir pekan lalu.

Permenhub itu juga akan mengatur sistem penarifan maskapai full service dan LCC dikaitkan dengan standar pelayanan minimum angkutan udara dimana nantinya terdapat dua mekanisme yang mengatur tarif batas atas dan tarif referensi.

Sampai saat ini, belum ada aturan yang menegaskan tentang SPM sehingga standar itu diatur oleh setiap operator. Dengan keluarnya aturan tersebut, maka Indonesia secara tidak langsung mengakui keberadaan LCC. Pemerintah juga berencana melengkapi infrastruktur industri pendukung seperti pembangunan terminal khusus LCC dan penyedia bandara sekunder.

Sampai saat ini, Indonesia belum punya, kami berkeinginan menjadikan Bandara Pondok Cabe sebagai secondary airport. ”Secendary airport adalah bandara kedua yang menawarkan tarif landing lebih murah, ground handling murah, tapi jarak dengan kota jauh. Tri menyatakan jika SPM telah diatur tersendiri, konsep maskapai LLC akan diakui oleh Indonesia dan bias diterapkan di airline LLC.

Pangkas subkelas. Kasubdit Angkutan Udara Dalam Negeri pada Ditjen Perhubungan Udara Dephub Hemi Pamuraharjo menambahkan pihaknya akan memangkas 12 subkelas kursi yang diterapkan maskapai nasional. “Pemangkasan itu akan dilakukan dari biasanya 12 subkelas menjadi 5 subkelas saja,” kata Hemi.

Pemangkasan subkelas itu menyusul keluhan masyarakat yang membeli tiket tapi dengan harga beda. Selama ini, aturan subkelas kursi yang dijual diluar negeri mengacu waktu pemesanan tiket sehingga pelanggan yang memesan tiket jauh hari akan mendapatkan harga tiket lebih murah dibandingkan dengan pemesanan mendadak.

Terkait dengan penetapan kompensasi keterlambatan (delay) kepeda penumpang akibat faktor internal, Hemi menyatakan terdapat tiga jenis kompensasi yang wajib diberikan. Pertama, untuk keterlambatan mulai 30 menit sampai 90 menit, maskapai harus memberikan refreshment. Kedua, lebih dari 90 menit sampai 180 menit, wajib memberikan makan sesuai waktunya, seperti jika sudah waktu makan siang atau malam maskapai wajib memberi konpensasi makan. Ketiga, 180 menit keatas, penumpang berhak mendapat fasilitas akomodasi atau penginapan. Dengan catatan, ketika itu sudah tidak ada penerbangan lanjutan.

Usulan konpensasi ini wajib dikaji di internal Direktorat Jendral Perhubungan Udara dan baru akan direkomendasikan kepada Direktur Jendral Perhubungan Udara setelah konsepnya matang. Disebutkan juga, kewajiban konpensasi hanya berlaku untuk setiap kesalahan teknis dan operasi maskapai, diluar itu operator tidak diwajibkan mengganti pelayanan apapun pada penumpang. Namun, operator dipersilahkan jika tetap ingin memberikan konpensasi karena akan menjadi nilai promosi bagi maskapai tersebut. Sekjen Indonesia National Air Cariers Association (INACA) Tengku Burhanuddin menyatakan SPM sebaiknya hanya difokuskan pada penyeragaman tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan. (hendra.wibawa@bisnis.co.id)


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar